Minggu, 07 November 2010

Puisi "R.A Kartini"

Senja pergi berganti gelap
Semua yang telah terjadi di hari itu,
tak pernah kau sesali sedikitpun
Kau perjuangkan semuanya hanya untuk wanita Indonesia
Belajar dengan penuh keyakinan di negeri seberang pun, kau lakukan
Walau semua itu selalu ditentang, kau pantang menyerah
Setiap saat kau berjuang tanpa hentinya
Berharap memajukan kaum wanita, seperti kita
Dirikan sekolah, sebuah impian terbesarmu
Kau berusaha sekuat tenaga untuk semua itu

Setelah sekian lama berjuang,
kau dapatkan semua itu
Walau kau harus dibentak, dicaci-maki, namun kau tak peduli
Berbagi ilmu yang telah kau dapat dengan sesama
Selalu ada senyum untuk itu
“Terima kasih, Ibu Kartini, kau telah menyelamatkan kami,”
Ungkapan dengan tetes air mata yang sangat mengharukan
Kami yakin, semua itu akan berjalan seperti air mengalir
yang selalu mengalir dari tempat yang tinggi hingga tempat yang rendah
Sama halnya dengan ilmu mu yang tinggi
kau berikan kepada orang yang membutuhkan seperti kami ini

Beberapa tahun telah berjalan lancar, namun Tuhan berkata lain
Ia mengambilmu saat kau masih berjuang, Tapi kami menerima itu dengan lapang dada
Walau Bumi Pertiwi pun ikut bersedih atas semua itu
Sejak peristiwa itu, kami selalu mengenangmu
Dari menyusun surat-suratmu
menjadi buku “Habis Gelap, Terbitlah Terang”
sampai merayakan hari kelahiranmu, 21 April


Karya : Shafrina Ully Z.

Puisi "Bunda"

Wahai Bunda…………
Aku bangga atas jasamu
Engkaulah yang mengandungku
selama sembilan bulan
Dan telah melahirkanku,
dengan susah payah
Juga dalam keadaan sehat,
Hingga aku tumbuh menjadi orang yang berguna

Di rumah,
aku membantu engkau
Di sekolah,
ku taati perintah guru
Di jalan,
ku bantu orang yang menyebrang
Tetapi bukan hanya itu,
aku juga berguna bagi diri sendiri

Pesanmu selalu kuingat
Hatiku pun ikut berbicara,
“Bagaimana aku harus membalasnya ?’’
Dengan berbakti kepada engkau,
dan mematuhi perintahmu
Serta tak lupa menjauhi laranganmu,
itu yang Bunda mau dariku

Terima kasih kuucapkan untukmu,
dari relung hatiku terdalam

Sabtu, 06 November 2010

Cerpen "Sahabat Lama pun Kembali"

              “Malam-malam begini enaknya ngapain, ya? Kalo belajar, ini malam Minggu, kalo nonton TV, nanti rebutan ama Kak Doni?” kata Dira sambil duduk dibalkon kamarnya. Dan baru teringat kalau tadi pagi ia ke Perpustakaan Umum untuk meminjam novel karangan Mira W. sehingga ia segera membaca novel tersebut.
              Tidak terasa jam dinding telah menunjukan pukul 23.00, artinya ini hampir tengah malam, sehingga ia pun memutuskan kekamar mandi untuk gosok gigi dan tidur. Seperti biasa sebelum tidur Dira selalu berdo’a dan tak pernah absen dari do’anya, ia selalu memanjatkan do’a untuk bertemu sahabatnya, Chiko yang sudah lima tahun ini mereka tidak berjumpa. Ia sangat ingin bertemu dengannya karena ia ingin mengetahui perubahan yang terjadi pada sahabatnya itu.
               “Kuk ku ruyuuuuuk . . . Kuk ku ruyuuuuuk,” Mamanya yang membangunkan Dira dengan bersuara seperti ayam jago.
               “Eh, Mama. Kok banguninnya pagi banget, sih?” katanya sambil membenahi tempat tidur.
               “Kamu ini gimana, sih. Kan kamu belum sholat Subuh dan bentar lagi Mama sama Papa mau pergi ke rumah nenek,” Mamanya bergegas membuka gorden jendelanya selebar mungkin agar anak gadisnya bangun.
               “Maaf, Ma. Aku lupa, soalnya tadi malam aku baca . . . novel kemalaman,” Dira berkata sambil ngeles. Dan dengan segera Dira pun langsung masuk kamar mandi untuk wudhu lalu mengikuti sholat Subuh berjama’ah seperti biasanya. Lalu ia pun membantu Mamanya mengemasi pakaian untuk dibawa mereka menginap dirumah nenek.
               “Ra, kamu mau ikut nggak?” Mamanya sedang mengangkat koper kedalam mobil yang didalamnya ada Papa yang telah menunggu.
               “Nggak usah deh, Ma. Aku tunggu rumah aja dan biarin aja kak Doni yang ikut biar rumah nggak kayak kapal pecah melulu. Lagipula, besok aku ada ulangan PKn.” Dira langsung melirik kakaknya yang sedang tertawa senang kepada adiknya tersebut.
               “Ya udah Mama sama Papa tinggal dulu. Nanti kalo ada apa-apa telpon ya. Assalamu’alaikum.”
               “Ya, Ma. Hati-hati di jalan. Wa’alaikumsalam.” Dira masih berdiri disitu sambil melihat kepergian mobil mereka. Tidak lama kemudian, handphone Dira berbunyi dan ternyata itu sebuah SMS dari nomor yang tidak dikenal. 
               Dari : +6287256197957
               Hai, Dira. Kamu mesti kenal aku. Aku temen kamu. Dan aku mau kamu hadir di Acara
               Reuni Sekolah kita Minggu depan. Dan aku pingin kamu sebarin SMS ini ama semua
               anak. Jangan tanya ini siapa ntar kamu juga tau. Yang penting aku temen kamu.
               Setelah membaca SMS tadi ia langsung membalasnya. Namun si Pengirim tidak membalas. Dan ia segera menelpon sahabatnya, Dea.
               “Assalamu’alaikum, ada apa, Ra?”
               “Wa’alaikumsalam, De. Aku mau tanya, emangnya Minggu depan ada reuni sekolah ya?”
               “Lha, kamu tau dari mana, Ra?”
               “Tadi ada yang SMS aku, terus dia bilang dia tuh temen kita katanya Minggu depan ada reuni sekolah dan aku suruh nyebarin SMS itu kesemua temen.”
               “Ooooh, gitu. Emang sih ada reuni. Tapi nomor yang SMS kamu tadi berapa?”
               “087256197957. Kamu tau nggak nomor ini?”
               “Bentar, bentar aku inget-inget dulu. Hmmm, setauku nggak ada salah satu temen kita yang nomornya ini.”
               “Ya udah biarin yang penting Minggu depan aku samperin kamu ya. Biar berangkat bareng.”
               “Siap deh ntar aku tunggu jam 8 dan jangan sampai telat.”
               “Ya. Assalamu’alaikum.”
               “Wa’alaikumsalam.”
               Lalu Dira mengepel lantai, mencuci piring baru menyapu halaman. Saat sedang menyapu, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki dan setelah diperhatikan cukup lama, anak tersebut senyum-senyum kepada Dira. Siapa tuh anak?? dalam hati Dira pun bertanya-tanya senyum-senyum sendiri nggak jelas. Mungkin nggak ya?? Itu Chiko?? Dira sedikit gelisah, bingung dicampur aduk dengan perasaan senang. Karena seandainya itu Chiko, berarti Allah telah mengabulkan do’anya. 
               “Ah pusing nih ngurusin itu anak, yang aku nggak tau dia siapa?,” akhirnya kata itu pun terlontar dari bibir Dira yang sedari tadi menganga walaupun hanya dirinya sendiri yang dapat mendengarkannya. Anak laki-laki itupun telah mendekati Dira sehingga lamunanya pun hilang.
               “Assalamu’alaikum. Ra . . . Dira??” anak laki-laki tersebut menyapanya serta memanggil namanya sambil menyentuh pundak Dira yang sedang naik-turun.
               “I . . I . . ya. Wa’alaikumsalam. Kamu siapa?” sahut Dira dengan suara terbata-bata karena ia terkejut karena kehadiran anak tersebut sehingga membuat anak itu tertawa.
               “Ya Allah, Ra, Ra. Masa lupa ama aku. Hayo tebak siapa aku?” cowok itu bertanya sambil sedikit mengejek Dira yang sedang bingung. Dira pun segera memandang anak itu dari atas kebawah dan berpikir untuk menemukan jawabannya. Kayaknya aku kenal deh? Tapi siapa ya? Hati dan otak Dira pun langsung beradu argumentasi. Namun sayang, anak itu telah memberi tahu siapa dirinya sebelum Dira menjawab.
               “Hai, aku sahabat kamu. Chiko. Cowok paling keren satu sekolahan. Inget nggak?”
               “Chiko? Beneran kamu Chiko? Pantas aja mata kamu sama kayak Chiko?” kata Dira sambil berpikir dalam hati. Kalo itu Chiko, artinya Allah masih mau denger do’aku. Makasih ya Allah.
               “Beneran dong! Kalau nggak percaya aku sebutin deh ciri-cirinya Chiko yang kamu maksud. Nama lengkapku Chiko Rifar Putra. Aku pernah suka ama tujuh cewek dan semuanya ditolak. Bener nggak?” katanya sedikit menantang.
               “Ya . . . ya bener kok. Artinya kamu Chiko beneran. Gimana aku bisa ngenalin kamu? Kamu aja udah berubah banget, tapi yang nggak berubah menurutku sih, mata kamu aja,” kataku sambil meletakkan sapu disebelah pot bunga Bougenvil Mama. “Tambah item,” Dira mengucapkannya cukup lirih agar tidak terlalu terdengar oleh Chiko.
               “Apaaaaaaaaaaa??? Aku tambah item? Ya sih emang tapi nggak usah bisik-bisik gitu. Eh tadi aku SMS kamu lho!! Masuk nggak?? Sebelum kamu nanya aku jawab pertanyaan yang pasti ada dalam pikiran kamu tentang aku nanya ama siapa nomor kamu? Yups, aku minta nomor kamu dari Ardha karena cuma dia yang nawarin nomor kamu ke aku. Eh ya satu lagi aku kesini karena kangen ama kamu yang udah lima tahun nggak ketemu.” Chiko ngomong panjang-lebar seakan ia sedang berpidato untuk dipilih menjadi ketua OSIS.
               “Jawaban pertama masuk, yang kedua kok kamu tau sih? Yang ketiga aku kangen ama kamunya saat aku nyomblangin kamu ama temen cewekku aja sih, yang keempat bener sih kalo aku juga kangen ama kamu, abiz kamu nggak ngasih tau aku waktu pergi, sih?.” Tidak tahu kenapa perkataannya tadi membuatnya sedikit malu. Tapi pada detik berikutnya Chiko minta maaf kepada Dira atas peryataannya barusan. Lalu Dira mengajak Chiko berbincang didalam rumah mengenai segala hal tentang mereka berdua. Tidak terasa adzan Dhuhur pun telah dikumandangkan.
              “Chik, gimana kalo kita sholat Dhuhur bareng aja ke masjid? Soalnya keluargaku pada kerumah nenek semua, jadi dirumah aku sendirian.”
              “Ayo. Aku juga udah lama nggak sholat di masjid itu. Lagipula aku juga mau ketemu ama temen-temen yang lain,” kata Chiko sambil berdiri keluar rumah dan menunggu Dira mengambil mukena.
              Ternyata sepanjang perjalanan menuju mushola, banyak teman-teman Dira dan Chiko yang telah mengetahui kalau Chiko telah pulang. Disana mereka saling bertegur sapa dan segera berbondong-bondong menuju mushola. Sesampainya mereka bergiliran mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Dhuhur bersama.
              “Ra, Minggu depan kita berangkat bareng ya? Soalnya nggak ada temen yang satu sekolah ama aku selain kamu. Mau kan?,” pinta Chiko kepada Dira seusai sholat.
              “Ya, tapi nanti samperin Dea dulu jam 8. Inget lho! jangan sampai lupa. Awas kalo lupa aku tinggal,” Dira sedikit mengancam karena kebiasaan terburuk sahabatnya yaitu lupa akan janji sendiri.
              “Ya, Ra. Aku janji deh, nggak lupa lagi. Dan nanti aku yang samperin kamu ya?” Dira pun mengangguk dan mereka segera berpisah didepan rumah masing-masing.
              Sore menjelang malam Dira pun menghabiskan waktunya untuk belajar PKn karena besok jam pertama pula ia akan ulangan. Sampai ia terpaksa tidur pukul 23.00 lagi karena harus menghafalkan serangkaian kalimat yang rumit.
              “Kringggg . . . Kringg!!!!!” suara alarm handphone Dira yang berdering menunjukkan pukul 05.00 pagi. Tidak seperti biasanya, ia hanya sholat Subuh sendiri. Pagi-pagi sekali Chiko datang kerumah Dira.
              “Assalamu’alaikummmmmmmmmm,” teriak Chiko didepan pintu rumah Dira sambil membawa sebungkus nasi beserta lauknya.
              “Wa’alaikumsalammmmmmmmm,” Dira berteriak pula saat menjawab salam. Ia segera berlari dari kamarnya menuju pintu depan.
              “Pagi, Dira. Kamu pasti belum mandi. Oh iya, aku bawain nasi sama lauknya. Dan aku boleh masuk kan?” kata Chiko sambil menyerahkan bungkusan di tangannya itu.
              “Pagi. Ngapain pagi-pagi kesini? Makasih ya nasinya, untung aku belum beli di warung sebelah,” jawab Dira sambil mempersilahkan Chiko masuk.
              “Aku cuma main aja. Kan aku lagi nggak ada kerjaan. Lagian kamu di rumah sendirian kan?.” Dira hanya mengangguk lalu menyuruh Chiko duduk didepan TV untuk menunggunya makan dan siap-siap untuk mandi.
              “Ra, mau nggak kalo nanti aku yang nganter kamu ke sekolah? Nanti kamu bisa cobaain motor baru aku, lho!!!” Chiko sambil menyombongkan diri serta bercerita panjang lebar tentang motor barunya itu. Sampai ia tidak mengetahui bahwa Dira tidak mendengarkannya lagi karena ia telah sampai dikamar mandi. Dira pun telah berdandan dan menghampiri Chiko yang akan mengantarkannya.
              “Mana motornya? Aku sudah siap nich!.”
              “Itu didepan!! Eh, nanti kalau kamu dah pulang, SMS aku aja!!.”
              “Oke, kalo nggak gitu masak aku pulang naik angkot,” Dira mengunci pintu rumahnya dengan wajah memelas menghadap ke wajah Chiko.
              Sekitar 15 menit kemudian mereka berdua telah sampai didepan sekolah Dira.
              “Ya udah aku masuk dulu. Ntar kalo mau SMS jam 9 aja,” kata Dira sedari berjalan menuju kelasnya sambil melambaikan tangan kepada Chiko.
              “Ra, siapa tuch? Cowok kamu?” tanya Dea kepada Dira sambil mencuri pandang kearah Chiko yang mulai menghilang dengan motornya itu.
              “Kamu ngagetin aku aja. Suka ama cowok tadi? Kamu tau nggak, dia siapa?” jawab Dira dengan bertanya balik kepada Dea.
              “Kalo aku tau, ya nggak nanya ama kamu. Tadi cowok kamu bukan, hayo ngaku?” tanya Dea sambil mengacung-ngacungkan telunjuknya ke muka Dira.
              Sambil menaruh tasnya, Dira pun menjawab pertanyaan Dea, “Ya nggak lah, De. Dia itu . . . sahabat kita, Chiko.” Dea yang sedang minum pun hampir tersedak mendengarkan jawaban dari sahabatnya tersebut.
               “Masa sih. Kok cakep banget. Sejak kapan disini? Kok kamu nggak ngasih tau aku sih,” tanya Dea dengan wajah cemberut.
               “Beneran lah, De. Masak aku bohong ama kamu. Dia sih pulang baru kemarin. Dan ternyata dia itu yang SMS aku kemarin. Kalo kamu mau ketemu langsung ama dia, nanti pulang sekolah aja soalnya dia bakal jemput aku.” Perbincangan mereka selesai sampai disitu setelah Dira memutuskan untuk belajar PKn kembali.
                Seperti janjinya, sepulang sekolah Chiko menjemput Dira. Ia datang menghampiri Chiko bersama Dea. “Chik, kamu masih inget nggak ini siapa?” tanya Dira sambil menyikut Dea yang dari tadi tidak bisa diam.
                “Kamu Dea kan? Temennya Dira yang pernah nolak aku?” tanya Chiko kepada Dea yang masih mengingat-ingat masa lalunya itu.
                Akhirnya Dira pun menjawab pertanyaan dari Chiko, “Ya kok, Chik. Ini emang Dea. Cewek yang pernah nolak kamu itu. Kamu sih dulu nembaknya saat dia masih persiapan ikut lomba, ya nggak bakalan diterima. Tapi kalo nembaknya sekarang sih, aku jamin 100 % dia bakal nerima kamu.” Dira langsung melirik Dea yang ternyata wajahnya seperti tomat yang merah abiz.
               “Chik, jangan didengerin tu kata Dira,” sahut Dea yang segera menyembunyikan wajah merahnya tersebut. 
               “Ya udah aku pulang dulu, Assalamu’alaikum.”
               “Wa’alaikumsalam. Yuk, Ra kita pulang. Nanti kamu bisa garing lho kalo disini terus,” sambil melambaikan tangan kepada Dea dan segera menyuruh Dira naik ke motornya.
               “Yuk aku juga dah laper banget. Gimana kalo kita makan bakso aja? Tapi kamu anterin aku pulang dulu,” pinta Dira saat mereka diperjalanan pulang. Chiko pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Dira segera mengganti pakaiannya setelah sampai dirumah. Dia langsung pergi karena sebelumnya ia telah shalat di sekolahan.
               Mereka makan bakso ditempat mereka dulu makan bertiga bersama Dea. Setelah kenyang, Chiko pun mengantarkan Dira pulang. Tanpa menunggu lama, Dira langsung mengambil sapu untuk menyapu halamannya yang cukup kotor. Lalu handphone berbunyi dan ternyata Mamanya yang menelpon.
               “Assalamu’alaikum, Ma. Ada apa?”
               “Wa’alaikumsalam, Ra. Mama cuma mau bilang kalau Mama pulangnya lusa. Kamu nggak apa-apakan Mama tinggal cukup lama?”
               “Ya nggak lah, Ma. Kan nggak ada kak Doni, jadi rumah tenang-tenang aja, Ma. Oh ya, Ma, Chiko tu dah pulang, jadi aku ada yang nemenin kalo pagi. Tadi aja dia antar-jemput aku.”
               “Terusssssssss?????”
               “Lagipula Minggu depan aku ada reuni, jadi dia yang nemenin aku selain Dea.”
               “Udah dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
               “Wa’alaikumsalam.”
                                                                 * * * * *
               “Assalamu’alaikummmmmmmmmm,” terdengar bersamaan suara Mama, Papa dan Kakaknya dari depan pintu. Sambil menjawab salam, Dira segera berlari menuju pintu untuk menyambut mereka. Tangan Mama dan Papanya segera dicium, sedangkan kakaknya segera membawa tas koper mereka kedalam.
              “Gimana kak, enak nggak liburannya?” tanya Dira sambil duduk disebelah kakaknya yang terlihat lelah itu.
              “Enak apanya, disana tu kakak isinya cuma disuruh bantu kakek membajak sawah lah, nanem padi, pokoknya yang aneh-aneh gitu. Mending kamu nggak ikut, seandainya ikut pun paling-paling disuruh mandiin kebo di sungai,” jawab Doni dengan menunjukkan ekspresi yang aneh.
              “Kayaknya asik tuh, Kak. Ada acara nanem padi sama mandiin kebo. Jarang-jarang, lho ada kebo mandiin kebo,” sahut Dira sambil segera menghindar dari kakaknya tersebut. Seperti tebakannya, kakaknya pun mengejarnya. Untung ia segera melarikan diri kekamar mandi.

                                                            * * * * *

              “Ra, dah siap belum? Dah hampir jam 8 nih!!!” tanya Chiko yang sudah menunggu lima  belas menit didepan TV bersama Doni.
              “Yuk, pergi. Pakai motor kamu aja ya?” pinta Dira. Mereka pun menggunakan motor milik Chiko. Mereka segera menghampiri Dea dirumahnya. Ternyata Dea telah siap sehingga mereka bertiga bisa langsung pergi ke acara tersebut.
              Disana semua teman-temannya telah datang dan acara pun dimulai dengan sambutan dari walikelas mereka dulu, Pak Anto. Beliau pun terlihat gagah dengan kemeja coklat tua bergaris dipadu celana panjang coklat muda yang halus. Acara semakin meriah dengan kehadiran teman Dira yang pandai menyanyi, Mona. Ia membawakan lagu berjudul Seandainya milik Vierra. Ia membawakannya dengan apik. Dan lagu tersebut mengingatkan Dira ketika Chiko meninggalkannya untuk sekolah diluar kota yang cukup jauh. Ia sangat sedih karena Chiko tidak memberitahunya terlebih dahulu.
                                                                 * * * * *
               “Ra, aku pingin ngomong sesuatu, boleh?” pinta Chiko sambil memandang wajah Dira yang sedang melamun tadi.
              “Boleh. Ngomong apaan?” tanya Dira sambil memandang balik kearah Chiko.
              “Jangan disini, kita keluar aja.” Chiko segera mengajak Dira keluar ruangan, diluar Chiko segera berterus terang kepada Dira.
              “Ra, sebenernya aku dah lama banget nyimpen perasaan ini.”
              “Perasaan?? Perasaan apa?? Cinta?? Ama siapa tuuuuuuuuuuh??”
              “Hmmmm . . . . . . . ama . . . . kamu, Ra.”
              “Apa kamu bilang?? Kamu suka ama aku gitu??”
              “Ya, Ra. Aku dah pendam semua ini selama 6 tahun. Dan saat aku minta kamu nyomblangin aku ama temen-temen kamu, itu cuma buat mastiin sebesar apa kamu perhatian ama aku, Ra.”
              “Chik, kamu itu sahabat aku. Bukannya mau nolak cuma . . . . . . ,”
              “Cuma apa, Ra??”
              “Kamu kan sahabat aku, lagipula aku juga belum siap buat pacaran. Aku kan masih kelas IX dan umurku baru 15 tahun, jadi kita sahabatan dulu aja. Nanti kalau aku udah 17 tahun, baru deh aku mau pacaran. Jujur, Chik. Aku juga suka ama kamu, tapi suka aku ama kamu cuma sebatas sahabat. Walaupun aku sangat butuh kamu.” Sebenarnya dalam hati Dira juga ingin berpacaran dengan Chiko, namun ia tidak mau gagal seperti Mamanya dulu yang berpacaran saat seusia Dira dan langsung mengalami penurunan prestasi. Karena memang Dira lah, yang mendapatkan rangking satu dikelasnya. Sehingga ia tidak mau mengalami kejadian yang sama seperti Mamanya tersebut.
             “Aku ngerti kok, keputusan kamu. Aku bakalan nunggu kamu, sampai kamu umur 17 tahun. Jadi kamu masih mau nganggep aku sahabat kamu, kan?”
             “Pasti, kamu sahabat cowok aku dan Dea, sahabat cewek aku.”

                                                                   * * * * *
              Chiko pun mengajak Dira untuk pulang dan meninggalkan Dea sendirian di acara tersebut. Chiko berjanji dalam hati akan tetap setia menjadi sahabat Dira selama ia belum berumur 17 tahun dan akan segera menyatakan cintanya kembali saat Dira berusia 17 tahun nanti.

Jumat, 05 November 2010

Cerpen "Saputangan Pengasih"

“Ndo, pulang, yuk. Udah jam sembilan,” pinta Asih sambil menunjuk jam yang ada di Pos Kamling. Lando hanya mengangguk saja. Ia mengantarkan Asih pulang terlebih dahulu sebelum ia pulang ke rumahnya sendiri. Sebelum Lando memasuki rumahnya, ia telah mendengar Bapaknya, Joko Bahu yang merupakan Bupati Mataram, teriak-teriak memanggil namanya. Bapaknya memang sering begitu. Biasanya ia harus siap-siap mendapatkan pukulan dari bapaknya, karena beliau tidak menyukai anaknya jalan dengan Asih.
Tetapi, dengan santai ia masuk ke dalam rumah. Saat hampir memasuki kamar, baju Lando ditarik oleh seseorang, yang ternyata Bapaknya. Ketika membalikkan badan, ia hampir dipukul Bapaknya. Namun Ibunya, Rr. Rantamsari langsung menangkis pukulan tersebut dan menyuruh anaknya masuk ke kamar.“Pak, sudahlah jangan pukuli terus si Lando. Kasihan dia. Tiap hari kena pukul. Lagipula dia juga selalu tepat pada janjinya,” pinta Ibunya kepada Bapak Lando.
“Kau ini bagaimana? Anak keluyuran malah dibiarkan saja? Hah?,” bentak Bapaknya sampai Lando pusing mendengarkannya. Ia sudah sering sekali dimarahi Bapaknya. Tetapi tidak saat Bapaknya pergi keluar kota. Akhirnya beliau diajak oleh istrinya masuk ke kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara dengkuran Bapak Lando. Setelah mendengar itu, Ibunya langsung menuju kamar Lando yang lampu kamarnya ternyata masih menyala. Beliau membuka pintu kamarnya dengan sangat hati-hati supaya suaminya tidak mendengar. Lando pun terkejut saat mendapati Ibunya berada disampingnya.
“Ibu ...... mengapa Ibu di sini?” tanya Lando yang agak heran mendapati Ibunya di sini.
“Ibu cuma mau melihat keadaan kamu saja. Ya sudah, Ibu kembali ke kamar dulu. Jangan lupa berdo’a,” pesan beliau sebelum keluar dari kamar Lando. Walaupun beliau tidak merestui hubungannya dengan Asih, namun beliau tidak pernah memarahi Asih. Hanya saja ia tidak mengizinkan Asih berkunjung ke rumahnya.Sampai suatu saat kejadian itu pun terjadi. Waktu itu hari Minggu. Lando mengajak Asih ke rumahnya karena Bapaknya sedang tidak berada dirumah.
“Sih, yuk ke rumah. Mumpung Bapakku lagi nggak ada.” Asih pun mengangguk sebagai jawaban. Lando sampai kegirangan melihat reaksi kekasihnya. Ia memegang tangan Asih saat mereka melewati pemantang sawah. Aksi merekapun dilihat oleh para petani sambil memberi salam sopan kepada Lando selaku anak Bupati Mataram.
“Siang, Den Lando,” sapa sebagian besar petani yang melihat mereka berdua. Walaupun namanya R. Sulandono, ia lebih senang dipanggil Lando oleh siapapun. Mereka berjalan menyusuri sungai kecil yang terletak di sebelah rumah Lando. Di depan rumahnya, para pembantu menyambut kehadiran mereka berdua.
“Bi, Ibu ada nggak?” tanya Lando pada pembantu yang paling tua diantara keempat pembantunya.
“Oh, den Lando mau ngajak non Asih masuk?,” Lando mengangguk. “Ibu ada di dalam, Den, Non.” Asih memberi senyuman kepada pembantu tersebut. Seketika tangannya telah ditarik oleh Lando kedalam rumah. Walaupun ia tahu bahwa calon Ibu mertuanya tidak menyukai kehadirannya, ia tetap memberi salam kepada beliau.
“Siang, Tante,” sapa Asih walaupun ia telah melihat tanda bahaya pada wajah Ibu Lando. Beliau tidak menghiraukan salam dari Asih. “Lando, masuk kamar. Asih, kamu tunggu luar.” Nada suaranya terdengar datar sekaligus menyakiti hati Asih. Ia pun langsung keluar rumah dan menunggu Lando bersama pembantu yang paling tua. Pembantu itu sangat iba melihat majikannya memarahi gadis sebaik dan sepenurut Asih.Di dalam kamar, Lando merasakan bahaya yang mengancam hubungannya dengan Asih. Jujur, ia belum pernah sekalipun mengajak Asih ke rumah. Ia hanya yakin bahwa Ibunya tidak akan semarah tadi. Beliau hanya sering mengucapkan kata-kata pedas kepada orang yang tidak ia senangi.
“Mengapa kamu mengajak Asih kemari?”
“Aku kira Ibu tidak keberatan. Mumpung Bapak lagi dinas keluar.”
“Kamu ini bagaimana, sih? Ibu memang tidak merestui hubungan kalian. Ibu hanya mengizinkan kamu pergi bersama Asih tapi jangan bawa ke rumah, Lando.”
“Mengapa, Bu? Apa Ibu malu mempunyai calon menantu orang miskin? Jawab Bu !,” tegas Lando supaya Ibunya memberikan alasan yang kuat padanya.
“Sudahlah. Ini yang pertama dan yang terakhir untukmu mengajak Asih.” Lando pun mengangguk sebagai jawaban. Lalu ia keluar untuk menemui Asih. Namun yang ada, Asih menangis dipangkuan pembantu itu.
“Sih, ayo kita kesawah saja. Jangan menangis terus. Sih, tolong jangan diambil hati perkataan Ibuku tadi.” Asih mengiyakannya. Mereka berduapun berjalan-jalan ke sawah Pak Dadang.

# # #

Lando pun langsung mencium kedua pipi Ibunya sambil berkata, “Ya, Bu. Lando tidur dulu.” Lando pun berdo’a sebelum tidur. Ia selalu berdo’a semoga suatu saat dapat hidup bahagia dengan Asih. Serta hubunganya dengan Asih direstui oleh kedua orangtuanya.
Keesokan harinya………………
Lando pergi ke rumah Asih seperti biasa. Sebelum pergi, ia selalu menyempatkan diri untuk membantu Ibunya terlebih dahulu. Sesampainya di sana, ia disambut oleh adik bungsu Asih, Wina. Ia selalu mengerti apa maksud kedatangan Lando. Ia segera menyuruh Lando duduk dan buru-buru ia memanggil kakaknya yang sedang membantu Ibunya membuat kue. Lando tertawa setelah melihat Asih.
“Mengapa? Kok ketawa? Ada yang aneh, ya?,” tanya Asih heran melihat reaksi Lando.
“Banget. Ngaca dulu kalau mau nerima tamu.” Asih langsung menuju ke balik gorden untuk mengaca. Ia juga langsung tertawa sambil bergumam, “O, iya, ya.” Lalu ia membasuh mukanya secepat mungkin. Di sana Lando sedang berbincang dengan Ibunya.
“Nak Lando bagaimana keadaannya?.”
“Baik, Bu. Oh, ya, saya ke sini mau ngobrol dengan Asih, boleh?.”
“Oh, tentu. Bagaimana kalau ngobrolnya di ruang tengah saja? Sambil nonton TV.”
“Begini saja, Bu. Berhubung Ibu sedang membuat kue, kita ngobrolnya sambil buat kue aja supaya kue yang dibuat makin banyak.” Ibu Asih pun mengizinkannya. Ketika itu Asih datang dengan muka yang telah dibasuh air sehingga tepung yang menempel dimukanya tadi menghilang.
“Yuk,” kata Lando yang terdengar menggantung sehingga Asih pun mengernyitkan dahinya karena bingung.
“Yuk, yak, yuk. Ke mana?” Lando menunjuk kearah gorden. “Ke dapur,” Lando hanya mengangguk. Sekarang ia paham bahwa Lando mengajaknya ke dapur untuk membantu Ibunya membuat kue. Asih pun mengikuti Lando yang telah melangkah mengikuti Ibunya terlebih dahulu. Di dalam, adik-adiknya sedang mencicipi kue yang telah masak. Namun, setelah mengetahui Mas Lando akan membantu mereka, satu demi satu mulai kembali ke kesibukannya masing-masing.
Lando cukup telaten dalam membentuk kue-kue itu. Tidak heran karena Ibu tidak terlalu banyak bicara seperti tadi. Saat waktu makan siang tiba, mereka semua telah selesai menata kue ke loyang-loyang untuk dipanggang. Ani, adik Asih yang paling besar menyiapkan makanan untuk mereka semua. Sedangkan Lando membantu Asih dan Ibunya memanggang kue-kue itu. Setelah kue-kue itu matang, mereka makan siang setelah Bapak Asih pulang dari sawah untuk beristirahat sebentar.
Mereka sekeluarga sangat menyukai kehadiran Lando. Adi, adik Asih yang paling cerewet, bertanya ini-itu kepada Lando. Lando menanggapi pertanyaan itu dengan santai. Salah satunya :“Mas Lando suka sama Mba Asih mengapa, sih?,” tanya Adi dengan polosnya.
“Oh, kalau itu menurut Adi sendiri gimana?,” Lando menjawab pertanyaan tadi dengan bertanya ulang kepada Adi.
“Hm..mm..apa ya? Kalau menurut Adi sih, mba Asih itu cantik, pinter, dan masih banyak lagi.”
“Lha kamu tahu. Yang paling penting itu Mba Asih sama Mas Lando saling suka, setia dan menerima kekurangan masing-masing,” jawab Lando enteng. Sedangkan Asih terlihat tersipu-sipu sambil menyikut perut Lando sedari tadi.
Mereka makan siang sekitar setengah jam dikarenakan Adi yang bertanya kepada Lando ini-itu. Ibunya hanya mendengarkan dan menggeleng-gelengkan kepala melihat Adi bertanya terus. Setelah selesai, Wina dan Ani membereskan semua piring dan mencucinya. Ibu bersama Asih mengangkat kue dari panggangan dan memperbolehkan Lando menyicipinya terlebih dahulu. Lando senang sekali mendapatkan kesempatan itu. Ternyata kue yang dibuatnya itu enak.

# # #

Setelah hari mulai sore, Lando memutuskan untuk pulang. Ia pun berpamitan pada Asih dan keluarga. Saat hendak keluar dari desa itu, ia dihadang oleh beberapa pemuda desa tersebut. Mereka mengeroyok Lando lima lawan satu. Mereka tidak ingin Sulasih atau yang kerap dipanggil Asih berhubungan dengan Lando. Asih itu sendiri merupakan kembang desa tersebut. Sehingga mereka geram ingin menyingkirkan Lando dari Asih. Lando tidak merasa takut sedikitpun. Ia telah memiliki ilmu beladiri yang dipelajarinya sejak kecil. Satu demi satu lawan pun mundur. Sampai ia dapat pulang dengan selamat.
Hari-hari ia jalani seperti biasa. Suatu hari Lando mengalami musibah yang amat membuatnya kehilangan semangat hidup. Kedua orang tuanya meninggal karena mengalami kecelakaan saat pulang dari luar negeri. Pemakaman pun dilaksanakan sehari setelah kecelakaan itu terjadi. Seluruh masyarakat, menghadiri upacara pemakaman tersebut. Dalam upacara tersebut hadir pula Asih dan keluarganya untuk mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya.
Makam kedua orangtuanya saling bersebelahan. Mereka dikebumikan dipemakaman keluarga bupati Mataram.Asih dengan setia mendampingi Lando hari itu. Lando menangis saat kedua jenazah dikebumikan. Setelah itu satu persatu keluarga besar Lando ikut menaburkan bunga diatas kuburan mereka, lalu mereka semua pulang.
Namun tidak bagi Lando. Ia tetap berada disana hingga hari mulai sore. Melihat itu, Asih menungguinya. Mereka pulang ke rumah masing-masing hampir pukul lima sore.Hari-hari Lando diisi dengan kesepian. Para pembantunya telah dipulangkan. Ia tinggal bersama bibi dan pamannya yang tidak memiliki putra.
Namun Lando cukup terkejut melihat roh kedua orangtuanya yang masih ada. Kejadian itu bermula setelah satu bulan kedua orangtuanya meninggal. Mereka menampakkan diri ketika Lando sedang mengunjungi makam mereka.
“Ibu, Bapak. Kok ada di sini?,” tanya Lando yang terkejut dan sedikit takut melihat orangtuanya masih hidup.
“Lando, jangan takut. Ibu sama Bapak memang sudah tiada.Namun roh kami masih hidup di alam gaib. Dan hanya kamu serta Asih yang dapat melihat kami berdua,” jawab Ibunya tenang agar Lando tidak ketakutan.
“Ndo, kami berdua kangen sekali dengan kamu. Bagaimana kalau kita berbincang-bincang di rumah saja?,” pinta Bapaknya.
“Boleh. Ayo, Pak, Bu. Kita pulang,” kata Lando sambil berjalan berdampingan dengan kedua orangtuanya meninggalkan pemakaman menuju rumah. Sesampainya, Lando mengajak mereka kekamarnya untuk menceritakan ini semua.
“Ndo, semua ini ceritanya panjang. Sekarang Bapak sama Ibu sudah merestui hubungan kamu dengan Asih. Sebelumnya ada syarat yang harus kamu penuhi ?,” kata Bapaknya.
“Terima kasih, Bu, Pak. Tapi apa syaratnya?.” Giliran Ibunyalah yang menjawab, “Ndo, kamu harus bertapa di hutan sana. Dan ingat kamu tidak boleh berhenti sebelum Ibu membangunkan kamu. Lalu, ini saputangan yang akan mempertemukan kamu dengan Asih setelah bertapa nanti,” Ibunya memberikan saputangan tersebut kepada Lando. Setelah itu mereka berpamitan kepada Lando dan Ibunya langsung menemui Asih untuk mengatakan sesuatu.
Di sana, Ibunya berpura-pura menyamar menjadi seorang Nenek yang meminta makanan kepada Asih. Kebetulan Asih sedang sendiri di rumah. Dan Asih pun mengiyakannya dan mengajak Ibu Lando pulang ke rumahnya.
“Nenek, mau minum apa?,” tanya Asih lembut kepada Ibu Lando.
“Terserah cucu saja. Seadanya.” Asih pun meninggalkan Ibu Lando kedapur untuk mengambil makanan dan minuman yang ada di dapur.
“Maaf, Nek. Asih cuma punya nasi, sayur, sama lauk tempe. Dan minumnya cuma air putih saja,” kata Asih sambil meletakkan semua itu di depan Ibu Lando.
“Terima kasih banyak. Begini saja juga sudah cukup.” Tanpa ragu Ibu Lando menghabiskan makanan tersebut lalu ia bertanya pada Asih.
“Asih, kamu kenal dengan Ibu Rantamsari?”
“Ya, Nek. Saya mengenalnya. Namun beliau telah meninggal sebulan yang lalu.”
“Oh, begitu. Kalau boleh Nenek tahu, apakah benar hubungan kamu dengan anaknya tidak direstui beliau?.” Asih sedikit terkejut mendengar pertanyaan tersebut.
“Memang benar. Tapi, darimana Nenek tahu berita tersebut?” tanya Asih sambil mengernyitkan dahi.“Kau ini bagaimana? Di sini kau seorang kembang desa, jadi berita tentangmu, semua warga pasti tahu.”
“Ooo…” Asih hanya ber-ooo saja mendengar jawaban tersebut.
“Saya merestui hubungan kalian.”
“Maksud Nenek………” belum sempat melanjutkan kata-katanya, ia telah dikejutkan dengan berubahnya Nenek dihadapannya menjadi orang yang tidak merestui hubungannya. Ibu Lando. Ia masih hidup, pikir Asih bingung bercampur dengan rasa takut. Apa yang terjadi? Mengapa beliau ada di depanku? Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalanya.
“Sih, jangan takut. Ibu di sini mau menyampaikan sesuatu yang penting buat kamu. Pertama, kamu jangan menemui Lando untuk beberapa waktu ke depan,” kata Ibu Lando sambil memberi peringatan pada Asih untuk diam terlebih dahulu. “Kedua, kami berdua merestui hubungan kalian. Dan yang terakhir jika kamu ingin menemui Lando, kamu harus menari pada saat upacara bersih desa. Karena pada saat itu, rohku akan menyatu dengan badanmu, mengerti?” Setelah berpikir, “Baiklah saya akan melakukan itu.”

# # #

Tepat pada bulan purnama dalam upacara bersih desa, diadakan berbagai macam pertunjukan. Salah satunya tari sintren. Ibu Lando juga mengetahui hal itu. Saat itu juga ia pergi ke hutan untuk membangunkan anaknya yang sedang bertapa.
“Ndo, ini saatnya kamu menemui Asih.
“Baik, Bu. Lando segera ke sana.” Ia langsung menuju ke desa Asih yang berada di ujung hutan tersebut. Ia datang kesana secara diam-diam agar para pemuda di sana tidak mengetahui kehadirannya. Ia menggunakan jaket dan kacamata hitam.
Pada saat Asih sedang menari dengan gemulai atas bantuan roh Ibunya yang menyatu dengan badan Asih, ia mudah mendekatinya. Saat memastikan mereka telah dekat, ia melemparkan saputangan pemberian Ibunya pada Asih tepat pada muka Asih yang tertutup oleh kacamata hitam dan untaian-untaian bunga melati. Asih pun jatuh pingsan. Ini kesempatan baik bagiku, pikir Lando sambil tersenyum. Ia membawa Asih lari menuju rumahnya.
Lalu, mengambil obat gosok dari lemari P3K milik keluarganya. Ia segera mengoleskan obat itu pada hidung Asih. Untungnya Asih segera sadar setelah ia mencium bau obat gosok yang diberikan Lando kepadanya. Lando tersenyum melihat reaksi Asih. Mereka pun berpelukan. Lama. Cukup lama, sebelum akhirnya mereka dikejutkan oleh kehadiran roh kedua orangtua Lando.
“Asih, titip Lando, ya,” kata Ibu Lando sambil menepuk bahu Asih.
“Baik, Tante, Om. Saya akan jaga Lando sebaik mungkin,” jawab Asih sambil mencium tangan kedua calon mertuanya.
“Menikahlah Minggu depan dengan Asih, Ndo,” pinta Bapaknya.
“Baik, Pak. Bagaimana denganmu, Sih?” tanya Lando pada Asih. Ia hanya mengangguk saja. Dan kedua orangtua Lando pun menghilang.
Sebelum pernikahannya, Lando melamar Asih keesokan harinya. Ia hanya membawa roti bolu dan cincin lamarannya. Setibanya, rombongan Lando disambut hangat oleh keluarga Asih. Lando langsung meminta restu kedua calon mertuanya. Dan ia pun diizinkan meminang anak sulung mereka.
Hari yang dinanti pun tiba. Akad nikah diadakan di rumah Asih. Diantara tamu yang hadir, nampak roh orangtua Lando disana. Mereka tersenyum bahagia melihat anak sematawayangnya telah menikah dengan gadis pujaan hatinya. Dan hari itu sangat melelahkan bagi mereka karena merupakan hari paling bahagia dalam hidup mereka.

# SELESAI #

Karya : Shafrina Ully Z.