Sabtu, 06 November 2010

Cerpen "Sahabat Lama pun Kembali"

              “Malam-malam begini enaknya ngapain, ya? Kalo belajar, ini malam Minggu, kalo nonton TV, nanti rebutan ama Kak Doni?” kata Dira sambil duduk dibalkon kamarnya. Dan baru teringat kalau tadi pagi ia ke Perpustakaan Umum untuk meminjam novel karangan Mira W. sehingga ia segera membaca novel tersebut.
              Tidak terasa jam dinding telah menunjukan pukul 23.00, artinya ini hampir tengah malam, sehingga ia pun memutuskan kekamar mandi untuk gosok gigi dan tidur. Seperti biasa sebelum tidur Dira selalu berdo’a dan tak pernah absen dari do’anya, ia selalu memanjatkan do’a untuk bertemu sahabatnya, Chiko yang sudah lima tahun ini mereka tidak berjumpa. Ia sangat ingin bertemu dengannya karena ia ingin mengetahui perubahan yang terjadi pada sahabatnya itu.
               “Kuk ku ruyuuuuuk . . . Kuk ku ruyuuuuuk,” Mamanya yang membangunkan Dira dengan bersuara seperti ayam jago.
               “Eh, Mama. Kok banguninnya pagi banget, sih?” katanya sambil membenahi tempat tidur.
               “Kamu ini gimana, sih. Kan kamu belum sholat Subuh dan bentar lagi Mama sama Papa mau pergi ke rumah nenek,” Mamanya bergegas membuka gorden jendelanya selebar mungkin agar anak gadisnya bangun.
               “Maaf, Ma. Aku lupa, soalnya tadi malam aku baca . . . novel kemalaman,” Dira berkata sambil ngeles. Dan dengan segera Dira pun langsung masuk kamar mandi untuk wudhu lalu mengikuti sholat Subuh berjama’ah seperti biasanya. Lalu ia pun membantu Mamanya mengemasi pakaian untuk dibawa mereka menginap dirumah nenek.
               “Ra, kamu mau ikut nggak?” Mamanya sedang mengangkat koper kedalam mobil yang didalamnya ada Papa yang telah menunggu.
               “Nggak usah deh, Ma. Aku tunggu rumah aja dan biarin aja kak Doni yang ikut biar rumah nggak kayak kapal pecah melulu. Lagipula, besok aku ada ulangan PKn.” Dira langsung melirik kakaknya yang sedang tertawa senang kepada adiknya tersebut.
               “Ya udah Mama sama Papa tinggal dulu. Nanti kalo ada apa-apa telpon ya. Assalamu’alaikum.”
               “Ya, Ma. Hati-hati di jalan. Wa’alaikumsalam.” Dira masih berdiri disitu sambil melihat kepergian mobil mereka. Tidak lama kemudian, handphone Dira berbunyi dan ternyata itu sebuah SMS dari nomor yang tidak dikenal. 
               Dari : +6287256197957
               Hai, Dira. Kamu mesti kenal aku. Aku temen kamu. Dan aku mau kamu hadir di Acara
               Reuni Sekolah kita Minggu depan. Dan aku pingin kamu sebarin SMS ini ama semua
               anak. Jangan tanya ini siapa ntar kamu juga tau. Yang penting aku temen kamu.
               Setelah membaca SMS tadi ia langsung membalasnya. Namun si Pengirim tidak membalas. Dan ia segera menelpon sahabatnya, Dea.
               “Assalamu’alaikum, ada apa, Ra?”
               “Wa’alaikumsalam, De. Aku mau tanya, emangnya Minggu depan ada reuni sekolah ya?”
               “Lha, kamu tau dari mana, Ra?”
               “Tadi ada yang SMS aku, terus dia bilang dia tuh temen kita katanya Minggu depan ada reuni sekolah dan aku suruh nyebarin SMS itu kesemua temen.”
               “Ooooh, gitu. Emang sih ada reuni. Tapi nomor yang SMS kamu tadi berapa?”
               “087256197957. Kamu tau nggak nomor ini?”
               “Bentar, bentar aku inget-inget dulu. Hmmm, setauku nggak ada salah satu temen kita yang nomornya ini.”
               “Ya udah biarin yang penting Minggu depan aku samperin kamu ya. Biar berangkat bareng.”
               “Siap deh ntar aku tunggu jam 8 dan jangan sampai telat.”
               “Ya. Assalamu’alaikum.”
               “Wa’alaikumsalam.”
               Lalu Dira mengepel lantai, mencuci piring baru menyapu halaman. Saat sedang menyapu, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki dan setelah diperhatikan cukup lama, anak tersebut senyum-senyum kepada Dira. Siapa tuh anak?? dalam hati Dira pun bertanya-tanya senyum-senyum sendiri nggak jelas. Mungkin nggak ya?? Itu Chiko?? Dira sedikit gelisah, bingung dicampur aduk dengan perasaan senang. Karena seandainya itu Chiko, berarti Allah telah mengabulkan do’anya. 
               “Ah pusing nih ngurusin itu anak, yang aku nggak tau dia siapa?,” akhirnya kata itu pun terlontar dari bibir Dira yang sedari tadi menganga walaupun hanya dirinya sendiri yang dapat mendengarkannya. Anak laki-laki itupun telah mendekati Dira sehingga lamunanya pun hilang.
               “Assalamu’alaikum. Ra . . . Dira??” anak laki-laki tersebut menyapanya serta memanggil namanya sambil menyentuh pundak Dira yang sedang naik-turun.
               “I . . I . . ya. Wa’alaikumsalam. Kamu siapa?” sahut Dira dengan suara terbata-bata karena ia terkejut karena kehadiran anak tersebut sehingga membuat anak itu tertawa.
               “Ya Allah, Ra, Ra. Masa lupa ama aku. Hayo tebak siapa aku?” cowok itu bertanya sambil sedikit mengejek Dira yang sedang bingung. Dira pun segera memandang anak itu dari atas kebawah dan berpikir untuk menemukan jawabannya. Kayaknya aku kenal deh? Tapi siapa ya? Hati dan otak Dira pun langsung beradu argumentasi. Namun sayang, anak itu telah memberi tahu siapa dirinya sebelum Dira menjawab.
               “Hai, aku sahabat kamu. Chiko. Cowok paling keren satu sekolahan. Inget nggak?”
               “Chiko? Beneran kamu Chiko? Pantas aja mata kamu sama kayak Chiko?” kata Dira sambil berpikir dalam hati. Kalo itu Chiko, artinya Allah masih mau denger do’aku. Makasih ya Allah.
               “Beneran dong! Kalau nggak percaya aku sebutin deh ciri-cirinya Chiko yang kamu maksud. Nama lengkapku Chiko Rifar Putra. Aku pernah suka ama tujuh cewek dan semuanya ditolak. Bener nggak?” katanya sedikit menantang.
               “Ya . . . ya bener kok. Artinya kamu Chiko beneran. Gimana aku bisa ngenalin kamu? Kamu aja udah berubah banget, tapi yang nggak berubah menurutku sih, mata kamu aja,” kataku sambil meletakkan sapu disebelah pot bunga Bougenvil Mama. “Tambah item,” Dira mengucapkannya cukup lirih agar tidak terlalu terdengar oleh Chiko.
               “Apaaaaaaaaaaa??? Aku tambah item? Ya sih emang tapi nggak usah bisik-bisik gitu. Eh tadi aku SMS kamu lho!! Masuk nggak?? Sebelum kamu nanya aku jawab pertanyaan yang pasti ada dalam pikiran kamu tentang aku nanya ama siapa nomor kamu? Yups, aku minta nomor kamu dari Ardha karena cuma dia yang nawarin nomor kamu ke aku. Eh ya satu lagi aku kesini karena kangen ama kamu yang udah lima tahun nggak ketemu.” Chiko ngomong panjang-lebar seakan ia sedang berpidato untuk dipilih menjadi ketua OSIS.
               “Jawaban pertama masuk, yang kedua kok kamu tau sih? Yang ketiga aku kangen ama kamunya saat aku nyomblangin kamu ama temen cewekku aja sih, yang keempat bener sih kalo aku juga kangen ama kamu, abiz kamu nggak ngasih tau aku waktu pergi, sih?.” Tidak tahu kenapa perkataannya tadi membuatnya sedikit malu. Tapi pada detik berikutnya Chiko minta maaf kepada Dira atas peryataannya barusan. Lalu Dira mengajak Chiko berbincang didalam rumah mengenai segala hal tentang mereka berdua. Tidak terasa adzan Dhuhur pun telah dikumandangkan.
              “Chik, gimana kalo kita sholat Dhuhur bareng aja ke masjid? Soalnya keluargaku pada kerumah nenek semua, jadi dirumah aku sendirian.”
              “Ayo. Aku juga udah lama nggak sholat di masjid itu. Lagipula aku juga mau ketemu ama temen-temen yang lain,” kata Chiko sambil berdiri keluar rumah dan menunggu Dira mengambil mukena.
              Ternyata sepanjang perjalanan menuju mushola, banyak teman-teman Dira dan Chiko yang telah mengetahui kalau Chiko telah pulang. Disana mereka saling bertegur sapa dan segera berbondong-bondong menuju mushola. Sesampainya mereka bergiliran mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Dhuhur bersama.
              “Ra, Minggu depan kita berangkat bareng ya? Soalnya nggak ada temen yang satu sekolah ama aku selain kamu. Mau kan?,” pinta Chiko kepada Dira seusai sholat.
              “Ya, tapi nanti samperin Dea dulu jam 8. Inget lho! jangan sampai lupa. Awas kalo lupa aku tinggal,” Dira sedikit mengancam karena kebiasaan terburuk sahabatnya yaitu lupa akan janji sendiri.
              “Ya, Ra. Aku janji deh, nggak lupa lagi. Dan nanti aku yang samperin kamu ya?” Dira pun mengangguk dan mereka segera berpisah didepan rumah masing-masing.
              Sore menjelang malam Dira pun menghabiskan waktunya untuk belajar PKn karena besok jam pertama pula ia akan ulangan. Sampai ia terpaksa tidur pukul 23.00 lagi karena harus menghafalkan serangkaian kalimat yang rumit.
              “Kringggg . . . Kringg!!!!!” suara alarm handphone Dira yang berdering menunjukkan pukul 05.00 pagi. Tidak seperti biasanya, ia hanya sholat Subuh sendiri. Pagi-pagi sekali Chiko datang kerumah Dira.
              “Assalamu’alaikummmmmmmmmm,” teriak Chiko didepan pintu rumah Dira sambil membawa sebungkus nasi beserta lauknya.
              “Wa’alaikumsalammmmmmmmm,” Dira berteriak pula saat menjawab salam. Ia segera berlari dari kamarnya menuju pintu depan.
              “Pagi, Dira. Kamu pasti belum mandi. Oh iya, aku bawain nasi sama lauknya. Dan aku boleh masuk kan?” kata Chiko sambil menyerahkan bungkusan di tangannya itu.
              “Pagi. Ngapain pagi-pagi kesini? Makasih ya nasinya, untung aku belum beli di warung sebelah,” jawab Dira sambil mempersilahkan Chiko masuk.
              “Aku cuma main aja. Kan aku lagi nggak ada kerjaan. Lagian kamu di rumah sendirian kan?.” Dira hanya mengangguk lalu menyuruh Chiko duduk didepan TV untuk menunggunya makan dan siap-siap untuk mandi.
              “Ra, mau nggak kalo nanti aku yang nganter kamu ke sekolah? Nanti kamu bisa cobaain motor baru aku, lho!!!” Chiko sambil menyombongkan diri serta bercerita panjang lebar tentang motor barunya itu. Sampai ia tidak mengetahui bahwa Dira tidak mendengarkannya lagi karena ia telah sampai dikamar mandi. Dira pun telah berdandan dan menghampiri Chiko yang akan mengantarkannya.
              “Mana motornya? Aku sudah siap nich!.”
              “Itu didepan!! Eh, nanti kalau kamu dah pulang, SMS aku aja!!.”
              “Oke, kalo nggak gitu masak aku pulang naik angkot,” Dira mengunci pintu rumahnya dengan wajah memelas menghadap ke wajah Chiko.
              Sekitar 15 menit kemudian mereka berdua telah sampai didepan sekolah Dira.
              “Ya udah aku masuk dulu. Ntar kalo mau SMS jam 9 aja,” kata Dira sedari berjalan menuju kelasnya sambil melambaikan tangan kepada Chiko.
              “Ra, siapa tuch? Cowok kamu?” tanya Dea kepada Dira sambil mencuri pandang kearah Chiko yang mulai menghilang dengan motornya itu.
              “Kamu ngagetin aku aja. Suka ama cowok tadi? Kamu tau nggak, dia siapa?” jawab Dira dengan bertanya balik kepada Dea.
              “Kalo aku tau, ya nggak nanya ama kamu. Tadi cowok kamu bukan, hayo ngaku?” tanya Dea sambil mengacung-ngacungkan telunjuknya ke muka Dira.
              Sambil menaruh tasnya, Dira pun menjawab pertanyaan Dea, “Ya nggak lah, De. Dia itu . . . sahabat kita, Chiko.” Dea yang sedang minum pun hampir tersedak mendengarkan jawaban dari sahabatnya tersebut.
               “Masa sih. Kok cakep banget. Sejak kapan disini? Kok kamu nggak ngasih tau aku sih,” tanya Dea dengan wajah cemberut.
               “Beneran lah, De. Masak aku bohong ama kamu. Dia sih pulang baru kemarin. Dan ternyata dia itu yang SMS aku kemarin. Kalo kamu mau ketemu langsung ama dia, nanti pulang sekolah aja soalnya dia bakal jemput aku.” Perbincangan mereka selesai sampai disitu setelah Dira memutuskan untuk belajar PKn kembali.
                Seperti janjinya, sepulang sekolah Chiko menjemput Dira. Ia datang menghampiri Chiko bersama Dea. “Chik, kamu masih inget nggak ini siapa?” tanya Dira sambil menyikut Dea yang dari tadi tidak bisa diam.
                “Kamu Dea kan? Temennya Dira yang pernah nolak aku?” tanya Chiko kepada Dea yang masih mengingat-ingat masa lalunya itu.
                Akhirnya Dira pun menjawab pertanyaan dari Chiko, “Ya kok, Chik. Ini emang Dea. Cewek yang pernah nolak kamu itu. Kamu sih dulu nembaknya saat dia masih persiapan ikut lomba, ya nggak bakalan diterima. Tapi kalo nembaknya sekarang sih, aku jamin 100 % dia bakal nerima kamu.” Dira langsung melirik Dea yang ternyata wajahnya seperti tomat yang merah abiz.
               “Chik, jangan didengerin tu kata Dira,” sahut Dea yang segera menyembunyikan wajah merahnya tersebut. 
               “Ya udah aku pulang dulu, Assalamu’alaikum.”
               “Wa’alaikumsalam. Yuk, Ra kita pulang. Nanti kamu bisa garing lho kalo disini terus,” sambil melambaikan tangan kepada Dea dan segera menyuruh Dira naik ke motornya.
               “Yuk aku juga dah laper banget. Gimana kalo kita makan bakso aja? Tapi kamu anterin aku pulang dulu,” pinta Dira saat mereka diperjalanan pulang. Chiko pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Dira segera mengganti pakaiannya setelah sampai dirumah. Dia langsung pergi karena sebelumnya ia telah shalat di sekolahan.
               Mereka makan bakso ditempat mereka dulu makan bertiga bersama Dea. Setelah kenyang, Chiko pun mengantarkan Dira pulang. Tanpa menunggu lama, Dira langsung mengambil sapu untuk menyapu halamannya yang cukup kotor. Lalu handphone berbunyi dan ternyata Mamanya yang menelpon.
               “Assalamu’alaikum, Ma. Ada apa?”
               “Wa’alaikumsalam, Ra. Mama cuma mau bilang kalau Mama pulangnya lusa. Kamu nggak apa-apakan Mama tinggal cukup lama?”
               “Ya nggak lah, Ma. Kan nggak ada kak Doni, jadi rumah tenang-tenang aja, Ma. Oh ya, Ma, Chiko tu dah pulang, jadi aku ada yang nemenin kalo pagi. Tadi aja dia antar-jemput aku.”
               “Terusssssssss?????”
               “Lagipula Minggu depan aku ada reuni, jadi dia yang nemenin aku selain Dea.”
               “Udah dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
               “Wa’alaikumsalam.”
                                                                 * * * * *
               “Assalamu’alaikummmmmmmmmm,” terdengar bersamaan suara Mama, Papa dan Kakaknya dari depan pintu. Sambil menjawab salam, Dira segera berlari menuju pintu untuk menyambut mereka. Tangan Mama dan Papanya segera dicium, sedangkan kakaknya segera membawa tas koper mereka kedalam.
              “Gimana kak, enak nggak liburannya?” tanya Dira sambil duduk disebelah kakaknya yang terlihat lelah itu.
              “Enak apanya, disana tu kakak isinya cuma disuruh bantu kakek membajak sawah lah, nanem padi, pokoknya yang aneh-aneh gitu. Mending kamu nggak ikut, seandainya ikut pun paling-paling disuruh mandiin kebo di sungai,” jawab Doni dengan menunjukkan ekspresi yang aneh.
              “Kayaknya asik tuh, Kak. Ada acara nanem padi sama mandiin kebo. Jarang-jarang, lho ada kebo mandiin kebo,” sahut Dira sambil segera menghindar dari kakaknya tersebut. Seperti tebakannya, kakaknya pun mengejarnya. Untung ia segera melarikan diri kekamar mandi.

                                                            * * * * *

              “Ra, dah siap belum? Dah hampir jam 8 nih!!!” tanya Chiko yang sudah menunggu lima  belas menit didepan TV bersama Doni.
              “Yuk, pergi. Pakai motor kamu aja ya?” pinta Dira. Mereka pun menggunakan motor milik Chiko. Mereka segera menghampiri Dea dirumahnya. Ternyata Dea telah siap sehingga mereka bertiga bisa langsung pergi ke acara tersebut.
              Disana semua teman-temannya telah datang dan acara pun dimulai dengan sambutan dari walikelas mereka dulu, Pak Anto. Beliau pun terlihat gagah dengan kemeja coklat tua bergaris dipadu celana panjang coklat muda yang halus. Acara semakin meriah dengan kehadiran teman Dira yang pandai menyanyi, Mona. Ia membawakan lagu berjudul Seandainya milik Vierra. Ia membawakannya dengan apik. Dan lagu tersebut mengingatkan Dira ketika Chiko meninggalkannya untuk sekolah diluar kota yang cukup jauh. Ia sangat sedih karena Chiko tidak memberitahunya terlebih dahulu.
                                                                 * * * * *
               “Ra, aku pingin ngomong sesuatu, boleh?” pinta Chiko sambil memandang wajah Dira yang sedang melamun tadi.
              “Boleh. Ngomong apaan?” tanya Dira sambil memandang balik kearah Chiko.
              “Jangan disini, kita keluar aja.” Chiko segera mengajak Dira keluar ruangan, diluar Chiko segera berterus terang kepada Dira.
              “Ra, sebenernya aku dah lama banget nyimpen perasaan ini.”
              “Perasaan?? Perasaan apa?? Cinta?? Ama siapa tuuuuuuuuuuh??”
              “Hmmmm . . . . . . . ama . . . . kamu, Ra.”
              “Apa kamu bilang?? Kamu suka ama aku gitu??”
              “Ya, Ra. Aku dah pendam semua ini selama 6 tahun. Dan saat aku minta kamu nyomblangin aku ama temen-temen kamu, itu cuma buat mastiin sebesar apa kamu perhatian ama aku, Ra.”
              “Chik, kamu itu sahabat aku. Bukannya mau nolak cuma . . . . . . ,”
              “Cuma apa, Ra??”
              “Kamu kan sahabat aku, lagipula aku juga belum siap buat pacaran. Aku kan masih kelas IX dan umurku baru 15 tahun, jadi kita sahabatan dulu aja. Nanti kalau aku udah 17 tahun, baru deh aku mau pacaran. Jujur, Chik. Aku juga suka ama kamu, tapi suka aku ama kamu cuma sebatas sahabat. Walaupun aku sangat butuh kamu.” Sebenarnya dalam hati Dira juga ingin berpacaran dengan Chiko, namun ia tidak mau gagal seperti Mamanya dulu yang berpacaran saat seusia Dira dan langsung mengalami penurunan prestasi. Karena memang Dira lah, yang mendapatkan rangking satu dikelasnya. Sehingga ia tidak mau mengalami kejadian yang sama seperti Mamanya tersebut.
             “Aku ngerti kok, keputusan kamu. Aku bakalan nunggu kamu, sampai kamu umur 17 tahun. Jadi kamu masih mau nganggep aku sahabat kamu, kan?”
             “Pasti, kamu sahabat cowok aku dan Dea, sahabat cewek aku.”

                                                                   * * * * *
              Chiko pun mengajak Dira untuk pulang dan meninggalkan Dea sendirian di acara tersebut. Chiko berjanji dalam hati akan tetap setia menjadi sahabat Dira selama ia belum berumur 17 tahun dan akan segera menyatakan cintanya kembali saat Dira berusia 17 tahun nanti.