Jumat, 05 November 2010

Cerpen "Saputangan Pengasih"

“Ndo, pulang, yuk. Udah jam sembilan,” pinta Asih sambil menunjuk jam yang ada di Pos Kamling. Lando hanya mengangguk saja. Ia mengantarkan Asih pulang terlebih dahulu sebelum ia pulang ke rumahnya sendiri. Sebelum Lando memasuki rumahnya, ia telah mendengar Bapaknya, Joko Bahu yang merupakan Bupati Mataram, teriak-teriak memanggil namanya. Bapaknya memang sering begitu. Biasanya ia harus siap-siap mendapatkan pukulan dari bapaknya, karena beliau tidak menyukai anaknya jalan dengan Asih.
Tetapi, dengan santai ia masuk ke dalam rumah. Saat hampir memasuki kamar, baju Lando ditarik oleh seseorang, yang ternyata Bapaknya. Ketika membalikkan badan, ia hampir dipukul Bapaknya. Namun Ibunya, Rr. Rantamsari langsung menangkis pukulan tersebut dan menyuruh anaknya masuk ke kamar.“Pak, sudahlah jangan pukuli terus si Lando. Kasihan dia. Tiap hari kena pukul. Lagipula dia juga selalu tepat pada janjinya,” pinta Ibunya kepada Bapak Lando.
“Kau ini bagaimana? Anak keluyuran malah dibiarkan saja? Hah?,” bentak Bapaknya sampai Lando pusing mendengarkannya. Ia sudah sering sekali dimarahi Bapaknya. Tetapi tidak saat Bapaknya pergi keluar kota. Akhirnya beliau diajak oleh istrinya masuk ke kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara dengkuran Bapak Lando. Setelah mendengar itu, Ibunya langsung menuju kamar Lando yang lampu kamarnya ternyata masih menyala. Beliau membuka pintu kamarnya dengan sangat hati-hati supaya suaminya tidak mendengar. Lando pun terkejut saat mendapati Ibunya berada disampingnya.
“Ibu ...... mengapa Ibu di sini?” tanya Lando yang agak heran mendapati Ibunya di sini.
“Ibu cuma mau melihat keadaan kamu saja. Ya sudah, Ibu kembali ke kamar dulu. Jangan lupa berdo’a,” pesan beliau sebelum keluar dari kamar Lando. Walaupun beliau tidak merestui hubungannya dengan Asih, namun beliau tidak pernah memarahi Asih. Hanya saja ia tidak mengizinkan Asih berkunjung ke rumahnya.Sampai suatu saat kejadian itu pun terjadi. Waktu itu hari Minggu. Lando mengajak Asih ke rumahnya karena Bapaknya sedang tidak berada dirumah.
“Sih, yuk ke rumah. Mumpung Bapakku lagi nggak ada.” Asih pun mengangguk sebagai jawaban. Lando sampai kegirangan melihat reaksi kekasihnya. Ia memegang tangan Asih saat mereka melewati pemantang sawah. Aksi merekapun dilihat oleh para petani sambil memberi salam sopan kepada Lando selaku anak Bupati Mataram.
“Siang, Den Lando,” sapa sebagian besar petani yang melihat mereka berdua. Walaupun namanya R. Sulandono, ia lebih senang dipanggil Lando oleh siapapun. Mereka berjalan menyusuri sungai kecil yang terletak di sebelah rumah Lando. Di depan rumahnya, para pembantu menyambut kehadiran mereka berdua.
“Bi, Ibu ada nggak?” tanya Lando pada pembantu yang paling tua diantara keempat pembantunya.
“Oh, den Lando mau ngajak non Asih masuk?,” Lando mengangguk. “Ibu ada di dalam, Den, Non.” Asih memberi senyuman kepada pembantu tersebut. Seketika tangannya telah ditarik oleh Lando kedalam rumah. Walaupun ia tahu bahwa calon Ibu mertuanya tidak menyukai kehadirannya, ia tetap memberi salam kepada beliau.
“Siang, Tante,” sapa Asih walaupun ia telah melihat tanda bahaya pada wajah Ibu Lando. Beliau tidak menghiraukan salam dari Asih. “Lando, masuk kamar. Asih, kamu tunggu luar.” Nada suaranya terdengar datar sekaligus menyakiti hati Asih. Ia pun langsung keluar rumah dan menunggu Lando bersama pembantu yang paling tua. Pembantu itu sangat iba melihat majikannya memarahi gadis sebaik dan sepenurut Asih.Di dalam kamar, Lando merasakan bahaya yang mengancam hubungannya dengan Asih. Jujur, ia belum pernah sekalipun mengajak Asih ke rumah. Ia hanya yakin bahwa Ibunya tidak akan semarah tadi. Beliau hanya sering mengucapkan kata-kata pedas kepada orang yang tidak ia senangi.
“Mengapa kamu mengajak Asih kemari?”
“Aku kira Ibu tidak keberatan. Mumpung Bapak lagi dinas keluar.”
“Kamu ini bagaimana, sih? Ibu memang tidak merestui hubungan kalian. Ibu hanya mengizinkan kamu pergi bersama Asih tapi jangan bawa ke rumah, Lando.”
“Mengapa, Bu? Apa Ibu malu mempunyai calon menantu orang miskin? Jawab Bu !,” tegas Lando supaya Ibunya memberikan alasan yang kuat padanya.
“Sudahlah. Ini yang pertama dan yang terakhir untukmu mengajak Asih.” Lando pun mengangguk sebagai jawaban. Lalu ia keluar untuk menemui Asih. Namun yang ada, Asih menangis dipangkuan pembantu itu.
“Sih, ayo kita kesawah saja. Jangan menangis terus. Sih, tolong jangan diambil hati perkataan Ibuku tadi.” Asih mengiyakannya. Mereka berduapun berjalan-jalan ke sawah Pak Dadang.

# # #

Lando pun langsung mencium kedua pipi Ibunya sambil berkata, “Ya, Bu. Lando tidur dulu.” Lando pun berdo’a sebelum tidur. Ia selalu berdo’a semoga suatu saat dapat hidup bahagia dengan Asih. Serta hubunganya dengan Asih direstui oleh kedua orangtuanya.
Keesokan harinya………………
Lando pergi ke rumah Asih seperti biasa. Sebelum pergi, ia selalu menyempatkan diri untuk membantu Ibunya terlebih dahulu. Sesampainya di sana, ia disambut oleh adik bungsu Asih, Wina. Ia selalu mengerti apa maksud kedatangan Lando. Ia segera menyuruh Lando duduk dan buru-buru ia memanggil kakaknya yang sedang membantu Ibunya membuat kue. Lando tertawa setelah melihat Asih.
“Mengapa? Kok ketawa? Ada yang aneh, ya?,” tanya Asih heran melihat reaksi Lando.
“Banget. Ngaca dulu kalau mau nerima tamu.” Asih langsung menuju ke balik gorden untuk mengaca. Ia juga langsung tertawa sambil bergumam, “O, iya, ya.” Lalu ia membasuh mukanya secepat mungkin. Di sana Lando sedang berbincang dengan Ibunya.
“Nak Lando bagaimana keadaannya?.”
“Baik, Bu. Oh, ya, saya ke sini mau ngobrol dengan Asih, boleh?.”
“Oh, tentu. Bagaimana kalau ngobrolnya di ruang tengah saja? Sambil nonton TV.”
“Begini saja, Bu. Berhubung Ibu sedang membuat kue, kita ngobrolnya sambil buat kue aja supaya kue yang dibuat makin banyak.” Ibu Asih pun mengizinkannya. Ketika itu Asih datang dengan muka yang telah dibasuh air sehingga tepung yang menempel dimukanya tadi menghilang.
“Yuk,” kata Lando yang terdengar menggantung sehingga Asih pun mengernyitkan dahinya karena bingung.
“Yuk, yak, yuk. Ke mana?” Lando menunjuk kearah gorden. “Ke dapur,” Lando hanya mengangguk. Sekarang ia paham bahwa Lando mengajaknya ke dapur untuk membantu Ibunya membuat kue. Asih pun mengikuti Lando yang telah melangkah mengikuti Ibunya terlebih dahulu. Di dalam, adik-adiknya sedang mencicipi kue yang telah masak. Namun, setelah mengetahui Mas Lando akan membantu mereka, satu demi satu mulai kembali ke kesibukannya masing-masing.
Lando cukup telaten dalam membentuk kue-kue itu. Tidak heran karena Ibu tidak terlalu banyak bicara seperti tadi. Saat waktu makan siang tiba, mereka semua telah selesai menata kue ke loyang-loyang untuk dipanggang. Ani, adik Asih yang paling besar menyiapkan makanan untuk mereka semua. Sedangkan Lando membantu Asih dan Ibunya memanggang kue-kue itu. Setelah kue-kue itu matang, mereka makan siang setelah Bapak Asih pulang dari sawah untuk beristirahat sebentar.
Mereka sekeluarga sangat menyukai kehadiran Lando. Adi, adik Asih yang paling cerewet, bertanya ini-itu kepada Lando. Lando menanggapi pertanyaan itu dengan santai. Salah satunya :“Mas Lando suka sama Mba Asih mengapa, sih?,” tanya Adi dengan polosnya.
“Oh, kalau itu menurut Adi sendiri gimana?,” Lando menjawab pertanyaan tadi dengan bertanya ulang kepada Adi.
“Hm..mm..apa ya? Kalau menurut Adi sih, mba Asih itu cantik, pinter, dan masih banyak lagi.”
“Lha kamu tahu. Yang paling penting itu Mba Asih sama Mas Lando saling suka, setia dan menerima kekurangan masing-masing,” jawab Lando enteng. Sedangkan Asih terlihat tersipu-sipu sambil menyikut perut Lando sedari tadi.
Mereka makan siang sekitar setengah jam dikarenakan Adi yang bertanya kepada Lando ini-itu. Ibunya hanya mendengarkan dan menggeleng-gelengkan kepala melihat Adi bertanya terus. Setelah selesai, Wina dan Ani membereskan semua piring dan mencucinya. Ibu bersama Asih mengangkat kue dari panggangan dan memperbolehkan Lando menyicipinya terlebih dahulu. Lando senang sekali mendapatkan kesempatan itu. Ternyata kue yang dibuatnya itu enak.

# # #

Setelah hari mulai sore, Lando memutuskan untuk pulang. Ia pun berpamitan pada Asih dan keluarga. Saat hendak keluar dari desa itu, ia dihadang oleh beberapa pemuda desa tersebut. Mereka mengeroyok Lando lima lawan satu. Mereka tidak ingin Sulasih atau yang kerap dipanggil Asih berhubungan dengan Lando. Asih itu sendiri merupakan kembang desa tersebut. Sehingga mereka geram ingin menyingkirkan Lando dari Asih. Lando tidak merasa takut sedikitpun. Ia telah memiliki ilmu beladiri yang dipelajarinya sejak kecil. Satu demi satu lawan pun mundur. Sampai ia dapat pulang dengan selamat.
Hari-hari ia jalani seperti biasa. Suatu hari Lando mengalami musibah yang amat membuatnya kehilangan semangat hidup. Kedua orang tuanya meninggal karena mengalami kecelakaan saat pulang dari luar negeri. Pemakaman pun dilaksanakan sehari setelah kecelakaan itu terjadi. Seluruh masyarakat, menghadiri upacara pemakaman tersebut. Dalam upacara tersebut hadir pula Asih dan keluarganya untuk mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya.
Makam kedua orangtuanya saling bersebelahan. Mereka dikebumikan dipemakaman keluarga bupati Mataram.Asih dengan setia mendampingi Lando hari itu. Lando menangis saat kedua jenazah dikebumikan. Setelah itu satu persatu keluarga besar Lando ikut menaburkan bunga diatas kuburan mereka, lalu mereka semua pulang.
Namun tidak bagi Lando. Ia tetap berada disana hingga hari mulai sore. Melihat itu, Asih menungguinya. Mereka pulang ke rumah masing-masing hampir pukul lima sore.Hari-hari Lando diisi dengan kesepian. Para pembantunya telah dipulangkan. Ia tinggal bersama bibi dan pamannya yang tidak memiliki putra.
Namun Lando cukup terkejut melihat roh kedua orangtuanya yang masih ada. Kejadian itu bermula setelah satu bulan kedua orangtuanya meninggal. Mereka menampakkan diri ketika Lando sedang mengunjungi makam mereka.
“Ibu, Bapak. Kok ada di sini?,” tanya Lando yang terkejut dan sedikit takut melihat orangtuanya masih hidup.
“Lando, jangan takut. Ibu sama Bapak memang sudah tiada.Namun roh kami masih hidup di alam gaib. Dan hanya kamu serta Asih yang dapat melihat kami berdua,” jawab Ibunya tenang agar Lando tidak ketakutan.
“Ndo, kami berdua kangen sekali dengan kamu. Bagaimana kalau kita berbincang-bincang di rumah saja?,” pinta Bapaknya.
“Boleh. Ayo, Pak, Bu. Kita pulang,” kata Lando sambil berjalan berdampingan dengan kedua orangtuanya meninggalkan pemakaman menuju rumah. Sesampainya, Lando mengajak mereka kekamarnya untuk menceritakan ini semua.
“Ndo, semua ini ceritanya panjang. Sekarang Bapak sama Ibu sudah merestui hubungan kamu dengan Asih. Sebelumnya ada syarat yang harus kamu penuhi ?,” kata Bapaknya.
“Terima kasih, Bu, Pak. Tapi apa syaratnya?.” Giliran Ibunyalah yang menjawab, “Ndo, kamu harus bertapa di hutan sana. Dan ingat kamu tidak boleh berhenti sebelum Ibu membangunkan kamu. Lalu, ini saputangan yang akan mempertemukan kamu dengan Asih setelah bertapa nanti,” Ibunya memberikan saputangan tersebut kepada Lando. Setelah itu mereka berpamitan kepada Lando dan Ibunya langsung menemui Asih untuk mengatakan sesuatu.
Di sana, Ibunya berpura-pura menyamar menjadi seorang Nenek yang meminta makanan kepada Asih. Kebetulan Asih sedang sendiri di rumah. Dan Asih pun mengiyakannya dan mengajak Ibu Lando pulang ke rumahnya.
“Nenek, mau minum apa?,” tanya Asih lembut kepada Ibu Lando.
“Terserah cucu saja. Seadanya.” Asih pun meninggalkan Ibu Lando kedapur untuk mengambil makanan dan minuman yang ada di dapur.
“Maaf, Nek. Asih cuma punya nasi, sayur, sama lauk tempe. Dan minumnya cuma air putih saja,” kata Asih sambil meletakkan semua itu di depan Ibu Lando.
“Terima kasih banyak. Begini saja juga sudah cukup.” Tanpa ragu Ibu Lando menghabiskan makanan tersebut lalu ia bertanya pada Asih.
“Asih, kamu kenal dengan Ibu Rantamsari?”
“Ya, Nek. Saya mengenalnya. Namun beliau telah meninggal sebulan yang lalu.”
“Oh, begitu. Kalau boleh Nenek tahu, apakah benar hubungan kamu dengan anaknya tidak direstui beliau?.” Asih sedikit terkejut mendengar pertanyaan tersebut.
“Memang benar. Tapi, darimana Nenek tahu berita tersebut?” tanya Asih sambil mengernyitkan dahi.“Kau ini bagaimana? Di sini kau seorang kembang desa, jadi berita tentangmu, semua warga pasti tahu.”
“Ooo…” Asih hanya ber-ooo saja mendengar jawaban tersebut.
“Saya merestui hubungan kalian.”
“Maksud Nenek………” belum sempat melanjutkan kata-katanya, ia telah dikejutkan dengan berubahnya Nenek dihadapannya menjadi orang yang tidak merestui hubungannya. Ibu Lando. Ia masih hidup, pikir Asih bingung bercampur dengan rasa takut. Apa yang terjadi? Mengapa beliau ada di depanku? Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalanya.
“Sih, jangan takut. Ibu di sini mau menyampaikan sesuatu yang penting buat kamu. Pertama, kamu jangan menemui Lando untuk beberapa waktu ke depan,” kata Ibu Lando sambil memberi peringatan pada Asih untuk diam terlebih dahulu. “Kedua, kami berdua merestui hubungan kalian. Dan yang terakhir jika kamu ingin menemui Lando, kamu harus menari pada saat upacara bersih desa. Karena pada saat itu, rohku akan menyatu dengan badanmu, mengerti?” Setelah berpikir, “Baiklah saya akan melakukan itu.”

# # #

Tepat pada bulan purnama dalam upacara bersih desa, diadakan berbagai macam pertunjukan. Salah satunya tari sintren. Ibu Lando juga mengetahui hal itu. Saat itu juga ia pergi ke hutan untuk membangunkan anaknya yang sedang bertapa.
“Ndo, ini saatnya kamu menemui Asih.
“Baik, Bu. Lando segera ke sana.” Ia langsung menuju ke desa Asih yang berada di ujung hutan tersebut. Ia datang kesana secara diam-diam agar para pemuda di sana tidak mengetahui kehadirannya. Ia menggunakan jaket dan kacamata hitam.
Pada saat Asih sedang menari dengan gemulai atas bantuan roh Ibunya yang menyatu dengan badan Asih, ia mudah mendekatinya. Saat memastikan mereka telah dekat, ia melemparkan saputangan pemberian Ibunya pada Asih tepat pada muka Asih yang tertutup oleh kacamata hitam dan untaian-untaian bunga melati. Asih pun jatuh pingsan. Ini kesempatan baik bagiku, pikir Lando sambil tersenyum. Ia membawa Asih lari menuju rumahnya.
Lalu, mengambil obat gosok dari lemari P3K milik keluarganya. Ia segera mengoleskan obat itu pada hidung Asih. Untungnya Asih segera sadar setelah ia mencium bau obat gosok yang diberikan Lando kepadanya. Lando tersenyum melihat reaksi Asih. Mereka pun berpelukan. Lama. Cukup lama, sebelum akhirnya mereka dikejutkan oleh kehadiran roh kedua orangtua Lando.
“Asih, titip Lando, ya,” kata Ibu Lando sambil menepuk bahu Asih.
“Baik, Tante, Om. Saya akan jaga Lando sebaik mungkin,” jawab Asih sambil mencium tangan kedua calon mertuanya.
“Menikahlah Minggu depan dengan Asih, Ndo,” pinta Bapaknya.
“Baik, Pak. Bagaimana denganmu, Sih?” tanya Lando pada Asih. Ia hanya mengangguk saja. Dan kedua orangtua Lando pun menghilang.
Sebelum pernikahannya, Lando melamar Asih keesokan harinya. Ia hanya membawa roti bolu dan cincin lamarannya. Setibanya, rombongan Lando disambut hangat oleh keluarga Asih. Lando langsung meminta restu kedua calon mertuanya. Dan ia pun diizinkan meminang anak sulung mereka.
Hari yang dinanti pun tiba. Akad nikah diadakan di rumah Asih. Diantara tamu yang hadir, nampak roh orangtua Lando disana. Mereka tersenyum bahagia melihat anak sematawayangnya telah menikah dengan gadis pujaan hatinya. Dan hari itu sangat melelahkan bagi mereka karena merupakan hari paling bahagia dalam hidup mereka.

# SELESAI #

Karya : Shafrina Ully Z.